Resensi) Trilogi Johana Rijkaard by Afifah
Afra Amatullah
1. Buku Pertama : Bulan Mati di Javasche Orange
Prince George (Mahmud Ali Syah) dikirim ibunya ke Hindia Belanda (Indonesia)
begitu sang ibu yang merupakan bangsawan penting di Inggris mengetahui ia
terlibat gerakan pan Islamisme menentang Kemal Pasya Attatruk di Mesir,
tempat ia menuntut ilmu.
Ia kemudian bertemu dengan Johanna alexander Rijkard, temannya ketika
kuliah. Sejak awal ia sudah terpikat pada pesona gadis itu yang merupakan putri
tunggal dari seorang pejabat di Hindia Belanda. Pada akhirnya ia menikahi
Johanna, meskipun mereka berbeda agama.
Persahabatan mahmud dengan pribumi bernama Hamzah Ikhwani semakin
menimbulkan rasa bersalah di hatinya. Dari Hamzah, ia kembali merasakan suasana
religius yang kental. Selain itu ada oportunis Raden Anggoro Karto Saputro
yang tergila-gila pada Johanna. Cerita makin rumit dengan kepulangan Parmin,
teman Hamzah di pesantren dulu yang telah berpindah haluan menjadi seorang
komunis.
Berbagai kejadian menyebabkan peristiwa-peristiwa tragis terjadi terhadap
Johanna dan Mahmud. Saat Johanna mengetahui sebuah rahasia penting tentang
dirinya dan Hamzah, takdir membuatnya kehilangan semua orang yang dicintainya
termasuk suaminya.
Buku 2 : Syahid Samurai
Johanna mengira suaminya, Mahmud Ali Syah sudah meninggal. Padahal ia sedang
hamil. Ditengah keputusasaan, ia berniat untuk bunuh diri. Namun takdir
mempertemukannya dengan seorang wanita sufi yang kemudian menjadi gurunya.
Bersama sang guru ia yang kemudian diberi nama Khadijah mengalami perjalanan
spiritualnya ke berbagai tempat. Penuh keprihatinan ia membesarkan anaknya,
Umar.
Sementara Mahmud yang belum berhasil menemukan Johanna, akhirnya menikahi
gadis pesantren sholeha. Pertemuannya kembali dengan Khadijah yang telah
menjadi muallaf menjadi dilema sendiri. Indonesia pasca usainya kolonialisme
menjadi tempat yang paling tidak aman bagi orang-orang Eropa. Khadijah
mengalami pedihnya kehidupan dibawah pemerintahan Jepang. Namun tak ada yang
lebih menyakitkannya selain perpisahan dengan putranya, Umar. Ketika menjalani
kerja Rodi Khadijah hampir diperkosa kalau tidak ada samurai tanguh yang
menolongnya, Akiro Fujiwara. Sejak awal Akiro sangat mengagumi kesalehan
Khadijah, berkali-kali ia bertentangan dengan sesamanya dmei menolong Khadijah.
Selama itu, ia menemukan cinta baru selain cintanya pada Khadijah. Ia mulai
mengenal cahaya islam. Namun perang terus bergulir, Belanda kembali menguasai
Indonesia. Akiro membuktikan cintanya, bukan sekedar cintanya pada Khadijah.
Buku 3 : Peluru di Matamu
Jack, laki-laki tampan
yang menjadi idola di kampusnya tergila-gila pada Ivana Martin. Demi Ivana ia
rela melakukan apa saja. Ia tak pernah tahu bahwa Ivana, tokoh komunis itu
hanya memanfaatkannnya.
Demi Ivana pula akhirnya ia bertemu dengan kedua orang tuanya di Indonesia,
Khadijah dan Mahmud. Hanya saja kali ini misinya bukan sekedar “pulang
kampung”.
Sementara itu Mahmud tidak hanya dipusingkan dengan pemikiran bagaimana
supaya ia bisa bersikap adil pada kedua istrinya. Lebih dari itu, pesantren
yang dipimpinnya berulang kali mendapatkan masalah, di duga ada penyusup dan
pengkhianat didalamnya. Tanpa disadari pengkhianat itu adalah putra dan adik
iparnya sendiri.
Pamungkas dari seri ini benar-benar menguras emosi saya. Well, gambaran
tentang PKI di novel ini benar-benar membuat saya muak. Kadang mata ini sampai
berkaca-kaca. Yang paling menyebalkan tentu saja Jack (Umar) dan Ivana. Namun,
berikutnya saya ikut merasakan penyesalan Jack yang mendalam setelah ia mengantarkan
ayahnya sendiri ke tiang gantungan. Matanya yang jadi pujaan gadis-gadis itu
telah menjadi peluru yang mematikan bagi kedua orang tuanya.